Thursday, July 17, 2014

Kritik

Karena Kritik itu secara umum lebih terkesan sebagai sebuah pendapat yang ofensif dan melawan. Padahal "kritik" itu sebenarnya bisa berupa pendapat positif, review, ulasan, atau apresiasi pada suatu hal. 

Wednesday, October 2, 2013

Norwegian Wood

Karena di minggu malam 30/9 kemarin saya sedang selo (baca : menganggur) (maklum semester 7), dan si gitar juga sedang tidak ada kerjaan, tiba - tiba saya terpikir untuk membuat cover lagu norwegian wood, yang dipopulerkan oleh the beatles.  Entah kenapa lagu ini yang saya pilih. Mungkin karena cukup simple untuk dibawakan. 

 untuk memberikan sesuatu yang berbeda dari versi aslinya, saya mencoba memberikan beberapa aransemen sederhana di lagu ini. selamat menikmati.

Saturday, September 21, 2013

Woman Without Pride (the Cranberries) : Seperti Déjà vu


Bagi saya, beberapa lagu secara subjektif memiliki kemampuan untuk menciptakan Déjà vu. Ketika mendengarkan sebuah lagu tertentu, tidak jarang kita berpikir , "rasa - rasanya lagu ini dulu pernah denger ya", namun entah kapan tepatnya, dan saat itu lagu siapakah yang memiliki kemiripan dengan yang kita dengar sekarang, terkadang kita lupa. Atau mungkin lagu tersebut seperti membawa pendengarnya ke dalam suasana serta ingatan tentang kejadian masa lalu. Si pendengar merasa pernah mengalaminya, namun tidak ingat kapan hal tersebut terjadi. Pengalaman seperti itu juga saya rasakan. Akhir - akhir ini saya sedang cukup intens mendengarkan Woman Without Pride, karya band tahun 90an yang masih eksis hingga sekarang, the Cranberries. Lagu ini dirilis pada tahun 1999 melalui album Bury the Hatchet, dan merupakan track ke-17 di album tersebut. Saat album ini dirilis, saya masih berumur tujuh tahun, dan lagu favorit yang didengar ketika itu adalah lagunya trio kwek kwek, dan chikita meidi,  saat itu saya tidak kenal band the Cranberries.
Pertama kali mendengar Woman Without Pride adalah 14 tahun kemudian, yaitu di tahun 2013 ini, karena pada awalnya saya bukan penggemar the Cranberries dan hanya mengetahui dua lagu mainstream dari band asal Irlandia ini, yaitu "Zombie" dan "Animal Instinct". Entah kenapa tiba - tiba saya berkeinginan untuk mengunduh album Bury the Hatchet, dan tak sengaja menemukan Woman Without Pride di dalamnya. Di awal lagu tersebut, saya disambut oleh rhythm gitar akustik sederhana khas the Cranberries (seperti di lagu animal instinct) yang biasanya diletakkan pada bagian intro lagu. Tidak ada yang terlalu istimewa pada awalnya, namun kemudian tiba - tiba lagu ini mengalir secara alami. Alirannya seperti aliran air keran melalui pipa, pipa tersebut adalah ketukan bass dan drum yang memandunya ke arah yang diharapkan. Lengkingan khas suara Dolores dengan efek ambience yang agak basah juga membuat saya terhanyut. Seketika saya terbawa oleh suasana lagu, meskipun baru pertama kali saya mendengarnya. Secara alami saya mengikuti dari belakang dan memprediksi nada bass dan vokal yang mereka pilih. Ternyata nada vokal yang keluar jatuhnya sesuai dengan apa yang saya prediksi dan harapkan. "saya seperti pernah mendengar lagu ini". Saat itu juga saya menyukai Woman Without Pride, yaitu ketika pertama kali saya berkenalan dengannya, di tahun 2013 ini, 14 tahun setelah ia dilahirkan. Keesokan harinya saya mencoba untuk bertemu dengannya kembali, dan ternyata ia masih enak untuk diajak ngobrol, dan saya masih tetap menjadi pendengar yang baik. Lagu ini seakan membawa saya pada masa kecil, dan meletakkan saya di sebuah rumah yang kosong, di siang hari yang juga kosong. Efek ambience yang agak basah pada vokal Dolores juga menjadi sebuah daya tarik dan memberikan efek psychedelic meskipun lagu ini bukan masuk kategori itu. "saya seperti pernah mendengar lagu ini".  Mungkin ketika saya kecil dulu, ada tetangga saya yang memutar lagu ini keras - keras di siang hari yang sepi, hingga terdengar sampai ke rumah, dan terekam di kepala anak kecil umur tujuh tahun *mungkin. Namun sebesar apapun usaha saya untuk mengingatnya, tetap tidak dapat teringat. Yang terpenting lagu ini secara alami seperti membawa saya pada sebuah suasana rumah kosong di masa lalu, dan pada siang hari yang sepi. "you don't see things like i do" - woman without pride 

Friday, August 9, 2013

Frustasi yang Menjadi Tujuan


Sejak kecil beberapa manusia sudah memiliki keinginan tertentu atau cita - cita untuk menjadi sesuatu yang mereka inginkan. Konsep cita - cita  tersebut bisa berasal dari pikirannya sendiri atau dari orang tua mereka atau juga dari teman - teman sebayanya. Atau juga bisa berasal dari jargon motivasi klasik yang dengan sangat yakin berkata, "gapailah cita - citamu setinggi langit", kalimat yang mampu memunculkan pikiran di kepala anak - anak  untuk menjadi dokter, pilot, atau insinyur. Semakin bertambah umur, impian dan cita - cita tersebut mulai berubah, karena melihat realita kehidupan nyata, antusiasme mereka mulai berbelok. "Ternyata menjadi insinyur itu sulit, menjadi penulis sepertinya lebih menyenangkan. Ternyata menjadi dokter itu hanya angan - angan masa kecil karena saya takut melihat darah, menjadi musisi sepertnya lebih menyenangkan." Perubahan tersebut terus terjadi, dan semakin bertambah umur pula, cita - cita dan impian terlihat semakin blur dan mengawang awang. Semakin bertambah umur, beberapa manusia mulai bingung ketika berbicara mengenai tujuan mereka menjalani kehidupan. Untuk apa mereka hidup. Impian yang mereka bentuk sejak kecil ternyata tidak menjadi suatu tujuan dan bukanlah hal yang mereka tuju, karena  mereka pun masih mencari sesuatu yang ingin mereka cari dalam hidup. Ada juga beberapa orang yang menjadikan uang sebagai tujuan mereka, namun mereka sadar bahwa pada akhirnya tidak memberikan mereka kebahagiaan.   
"ternyata kehidupan dewasa itu sangat rumit"Beberapa dari mereka mulai frustasi. Mereka masih tidak menemukan apa yang seharusnya mereka cari. Rasa frustasi tersebut menghasilkan keinginan untuk menjalani kehidupan hanya untuk hari ini, menikmati apa yang ada di depan mata, dan mensyukuri atas apa yang mereka peroleh sekarang. Pada akhirnya rasa frustasi tersebut yang mengantarkan mereka pada apa yang mereka cari. menikmati dan mensyukuri apa yang ada di hari ini itu ternyata lebih menyenangkan. Rasa frustasi tersebut yang pada akhirnya mengantarkan pada kebahagiaan.

Tuesday, July 23, 2013

Paradoks

keabsurdan yang normal. keheningan yang ramai. kebenaran yang salah. diam yang berbicara. telanjang yang berbusana. kehidupan yang mati.dan seterusnya..

Thursday, July 18, 2013

Alay

Mengapa mereka dilarang untuk menjadi alay dan diharuskan berpura pura untuk terlihat lebih dewasa. Menurut saya alay adalah bentuk kejujuran dan ekspresi diri, dan mereka berani untuk jadi diri sendiri. 

Tuesday, July 16, 2013

"Kuantitas" yang Melupakan "Spiritualitas"

*refleksi diri*
Setelah sekian tahun menganut agama islam, dari lahir hingga sekarang, saya mulai berpikir bahwa sepertinya peribadatan yang saya lakukan selama ini (secara pribadi) lebih mengutamakan pada segi kuantitas, daripada kualitas dan nilai spiritual yang seharusnya saya dapat dari sebuah agama. Setujukah anda bahwa pengutamaan kuantitas yang berlebih dalam sebuah ibadah itu malah  akan mengurangi esensi spiritual dari ibadah itu sendiri? Sebagai contoh, si A setiap hari membaca Al-Quran bahkan ia kerap menamatkan kitab suci tersebut lebih dari satu kali di bulan Ramadhan. Ketika ditanya mengapa ia bisa serajin itu, si A menjawab, "biar dapet pahala yang banyak", hal ini beralasan karena guru ngajinya pernah mengatakan bahwa setiap huruf yang dibaca dalam Al-Qur'an, bernilai satu pahala. Tetapi sangat disayangkan ketika ditanya apa makna dari satu ayat yang si A baca, ia sama sekali tidak mengerti, "yang penting baca, baca aja udah syukur" katanya. Ada lagi contoh lain, saat saya mengikuti ibadah shalat tarawih beberapa tahun yang lalu di sebuah masjid yang mengaplikasikan metode 23 rakaat. Saat itu saya berasumsi bahwa dengan ditambahkannya kuantitas rakaat, maka saya akan mendapatkan pahala yang berlebih ketimbang tarawih dengan 8 rakaat, namun baru saja  masuk ke rakaat keempat, saya sudah kualahan mengikuti gerakan sang imam yang bahkan tidak memberikan saya waktu untuk bergerak dari satu gerakan ke gerakan yang lain, karena shalatnya ngebut banget. Walhasil saat itu saya ibarat sehabis melakukan olahraga malam ketimbang melakukan kegiatan beribadah.

Melalui fenomena yang saya temui dari orang lain dan diri saya sendiri, saya merasa bahwa  ceramah2, jargon, kutipan, nasihat atau cerita2 islam yang pernah saya dengar sejak kecil memberikan saya mindset bahwa "nanti ada surga dan neraka, surga itu enak, neraka itu menyeramkan. untuk dapat masuk surga kamu harus memperoleh pahala yang banyak, untuk memperoleh pahala yang banyak, maka beribadahlah yang banyak. Hanya sebatas itukah alasan kita beragama? Bukankah keutamaan agama adalah pendalaman nilai spiritual dari ibadah yang dilakukan. Sejak kecil saya sudah diceritakan mengenai kisah dimana  pada saat kehidupan setelah mati, manusia akan dihitung dan ditimbang amal - amal dan dosa kita. Jika pahala lebih banyak daripada dosa, maka kita akan masuk surga, sedangkan jika dosa yang lebih banyak, maka masuk neraka. Cerita - cerita ini memberikan saya pemikiran bahwa saya harus 'banyak - banyak' ibadah supaya masuk surga dan terhindar dari neraka. Tidak dijelaskan bagaimana kualitas saya beribadah, yang terpenting adalah melakukannya dalam kuantitas yang tinggi, dzikir banyak, tapi tidak tahu mengapa kita harus berdzikir, menghafal Al - Qur'an , tapi tidak mengerti apa makna dari yang saya hafal. Dampak dari pendidikan agama seperti itu saya rasakan dewasa kini, dimana kedekatan saya dengan sang pencipta, atau pemahaman saya mengenai makna dari sebuah ibadah seperti shalat misalnya, masih sering saya pertanyakan dalam hati. Ibadah yang saya lakukan sekarang masih sebatas surga - neraka, pahala - dosa. Mengenai esensi spiritual yang saya dapatkan dalam beragama, itu masih sangat minim.

Memasuki bulan suci Ramadhan, ceramah - ceramah islam pun sering kita temukan di masjid dan televisi. Hal yang terpikirkan oleh saya ketika memasuki bulan suci Ramadhan adalah, "pahala yang akan dilipatgandakan", karena para penceramah dan ustad2 lebih sering menjelaskan keutamaan bulan Ramadhan yang bisa melipatgandakan pahala ibadah. Ketika SMA dulu di bulan puasa saya selalu berpikir bahwa Ramadhan adalah kesempatan untuk memperoleh pahala yang banyak, sehingga tilawah Al- Qur'an sebanyak - banyaknya saya lakukan, tapi saya tidak mengerti dan tidak memperoleh esensi spiritual dari apa yang saya baca atau nilai - nilai dari kegiatan berpuasa. Saya sudah merasa aman bahwa saya akan memperoleh pahala yang banyak, apalagi  akan dihitung satu huruf satu pahala, ditambah pelipatgandaan di bulan Ramadhan. Soal nilai - nilai dan kedalaman pemahaman dari apa yang saya baca, itu nomor dua, pikir saya ketika SMA dulu.
Pengalaman saya beragama dan berstatus islam sejak kecil  serta  melihat  fenomena sehari - hari memberikan pemikiran baru bagi saya bahwa esensi spiritual dan manfaat dari ibadah itu jauh lebih penting ketimbang kuantitas ibadah yang tinggi. Tetapi akan lebih baik lagi apabila kuantitas ibadah yang tinggi seimbang dengan pemahaman terhadap sisi spiritual dari ibadah yang kita kerjakan. Dengan itu semoga kita adalah mendapatkan sisi spiritual dan manfaat dari sebuah ibadah. "Pendapat saya bisa jadi benar, tetapi mungkin juga salah." Sekian